Pemanfaatan komputer sebagai sarana
pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat
dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan
medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan
dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak
berhak, maka dapat terjadi masalah hukum dan tanggung-jawab harus ditanggung
oleh dokternya atau oleh rumah sakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan
pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas
kertas harus pula diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi
tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less
paper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil
konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print
out).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia di bidang
etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa
petunjuk yang penting adalah :
1.
Informasi medis hanya dimasukkan ke
dalam komputer oleh personil yang berwenang.
2.
Data pasien harus dijaga dengan ketat.
Setiap personil tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan
menggunakan security level tertentu.
3.
Tidak ada informasi yang dapat dibuka
tanpa ijin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada
orang-orang yang berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak diperkenankan
memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
4.
Data yang telah “tua” dapat dihapus
setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya).
5.
Terminal yang on-line hanya dapat
digunakan oleh orang yang berwenang.
6.
Rekam medis yang berbentuk kertas
umumnya disimpan di Bagian Rekam Medis. Orang yang akan mengaksesnya harus
menunjukkan kartu pengenal atau surat ijin dari direksi atau pejabat yang
ditunjuk. Tetapi, sekali rekam medis ini keluar dari “sarangnya”, petugas rekam
medis tidak dapat lagi mengendalikannya. Mungkin saja rekam medis ini dikopi,
diedarkan, dll.
Komputerisasi rekam medis harus
menerapkan sistem yang mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai
harus memiliki PIN dan password, atau menggunakan sidik jari atau pola iris
mata sebagai pengenal identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah
sedemikian rupa, sehingga orang tertentu hanya bisa mengakses rekam medis
sampai batas tertentu. Misalnya seorang petugas registrasi hanya bisa mengakses
identitas umum pasien, seorang dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik
pasiennya sendiri, seorang petugas “billing” hanya bisa mengakses informasi
khusus yang berguna untuk pembuatan tagihan, dll. Bila si dokter tidak mengisi
sendiri data medis tersebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam
medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa
dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi
lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk
kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data
yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. Kopi
rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa
dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar
penerima kopi berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak-pihak
lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus
dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah
atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis “read-only” yang dapat
diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau
menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa
dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya adalah apakah
rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum
dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent ? Memang kita
menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana
membuktikan ke-otentik-annya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf
setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik?
Di sisi lain, komputerisasi mungkin
memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya
berupa per-telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat email
yang diberi “signature”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar