Penyebab Multifaktor
1)
Faktor Petugas/individu
Hubungan
antara dokter dan pasiennya secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam golongan
kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran dari dua orang mengenai suatu
hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak
kedua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada
dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan, sedang sang dokter menerima untuk
memberikannya (Guwandi, 2003).
Penentuan
kapan hubungan dokter dan pasien terjadi adalah sangat penting karena pada saat
itu sang dokter harus memenuhi kewajiban hukum dan timbullah tanggung jawab
terhadap pasiennya. Pada umumnya di dalam banyak hal, mulainya hubungan
tersebut sangat jelas dan nyata. Apabila seorang pasien meminta seorang dokter
untuk mengobatinya dan sang dokter menerimanya, maka saat itu sudah dimulai
hubungan kontrak antara dokter dengan pasien. Namun di dalam beberapa kasus,
adalah sukar untuk menentukan saat dimulainya hubungan tersebut, misalnya dalam
kasus seperti di bawah ini:
Seorang pasien terbangun dari tidurnya sebelum pukul 05.00 pagi
dengan keluhan sangat sakit pada dadanya. Ia berpakaian dan diantar istrinya ke
rumah sakit. Ia harus berjalan tiga blok karena tidak ada taksi yang lewat.
Setibanya di Instalasi Gawat Darurat dari suatu rumah sakit, istrinya
memberitahukan kepada perawat bahwa suaminya dalam keadaan sangat sakit dan
diduga mendapat serangan jantung dan meminta pertolongan dokter. Sang pasien
memberitahukan kepada perawat tersebut bahwa ia anggota suatu asuransi (Hospital Insurance Plan).
Mendengar keterangan demikian, sang perawat mengatakan bahwa rumah sakit ini
tidak menerima pasien asuransi tersebut.
Sang
perawat menelpon seorang dokter yang berada di rumah sakit dan memberitahukan
semua permasalahan tersebut kepadanya. Perawat itu kemudian menyerahkan telepon
itu kepada pasien yang menguraikan sakitnya kepada dokter bersangkutan. Dokter
tersebut mengatakan kepada pasien agar pasien pulang saja terlebih dahulu dan
menunggu sampai kantor Hospital Insurance Plan itu buka dan menghubungkan dokternya
ke pihak asuransi tersebut. Rumah sakit menolak untuk mengadakan pemeriksaan
atau pengobatan lebih lanjut. Setibanya di rumah, pasiennya jatuh di lantai dan
meninggal dunia.
Hakim
pengadilan memutuskan bahwa sang dokter telah menerima pasien itu ketika ia
mendengarkan tentang gejala-gejalanya via telepon dan bahwa ia tidak
melanjutkan dengan diagnosisnya dan pemberian pengobatan lebih lanjut, sehingga
sang dokter dianggap telah melakukan penelantaran (abandonment).
Kasus
seperti diatas merupakan kejadian tidak diharapkan (KTD) antara tindakan dokter
terhadap pasien di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor petugas, yaitu
dokter yang melakukan penelantaran. Kejadian tersebut juga disebabkan oleh
faktor kondisi pasien dan keinginan pasien untuk tetap menggunakan asuransinya.
2)
Kondisi pasien
Kondisi
pasien yang sudah sangat parah ditambah dengan berbagai penyakit komplikasi
juga dapat menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan. Pihak keluarga pasien
yang melihat kondisi pasien dalam keadaan parah menginginkan pelaksanaan suatu
tindakan medik yang padahal tindakan tersebut mengandung risiko yang cukup
fatal. Dalam kasus seperti ini barulah dokter merasakan arti pentingnya
pelaksanaan informed consent (persetujuan tindakan medik) yang
sangat sering dianggap sepele oleh pihak pemberi pelayanan ataupun pihak pasien
dan keluarganya. Sebelum dokter melakukan tindakan medik yang diinginkan pasien
ataupun keluarganya walaupun tindakan tersebut berisiko cukup fatal, dokter
memberikan penjelasan dan dibuktikan secara hitam diatas putih melalui
pengisian dan penandatanganan lembar informed consent. Dengan adanya
bukti lembar informed consent yang
telah diisi dan ditangdatangani oleh dokter yang bertanggung jawab, pasien atau
keluarga/walinya, saksi dari rumah sakit dan saksi dari pihak pasien, maka
apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan terhadap pasien tidaklah menjadi
tanggung jawab dokter ataupun pihak pemberi pelayanan kesehatan. Kondisi pasien
yang parah dengan komplikasi dan risiko tinggilah yang dianggap sebagai
penyebab terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan tersebut. Namun dokter
ataupun pihak pemberi pelayanan kesehatan haruslah tetap menjalankan tindakan
medik yang diinginkan pasien dan pihak keluarganya tersebut dengan benar,
sesuai dengan SOP (standard
operational procedure) dari tindakan tersebut, dan tanpa kelalaian.
Kejadian
yang tidak diinginkan (KTD) bisa juga terjadi bukan akibat dari kelalaian tim
medis. “Ada beberapa penyebab kejadian yang tidak diinginkan, antara lain
pasien tidak mematuhi instruksi dokter, pasien terlambat dibawa ke dokter,
adanya alergi yang tidak diketahui sebelumnya,” kata Direktur Administrasi
Rumah Sakit Pluit J Guwandi, dalam seminar bertema “Hukum untuk Dokter”, Sabtu
(8/9), di RS Gading Pluit, Jakarta Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar